Antara Takjil dan Sebuah Kebenaran


Bulan ramadan selalu identik dengan banyak hal. Salah satunya adalah takjil, makanan yang sering dijual atau dicari saat menjelang berbuka puasa. Berbagai macam pilihan yang dihidangkan oleh penjual dari yang menyegarkan sampai yang mengenyangkan pun tersedia. Siapkan saja kantong tebal agar pulang ke rumah membawa makanan yang enak untuk menemani berbuka puasa.

Iya, itulah takjil. Sudah menjadi kebiasaan orang indonesia menyebut makanan untuk berbuka puasa adalah takjil. Saking salah pahamnya, makna takjil sudah merambah hampir ke seluruh nusantara. Ditambah dengan kelompok-kelompok sosial yang mengadakan kegiatannya dengan nama "bagi-bagi takjil" atau "takjil gratis" dan lain sebagainya. Oleh karena kebiasaan itulah, makna dan arti sebenarnya takjil tak pernah diketahui atau bahkan sudah berubah maknanya. Proses telah memberikan takdir pada takjil untuk menjelma menjadi sebuah makanan untuk berbuka puasa.

Padahal takjil bukanlah makanan yang sering kita maksud. Kata Takjil diambil dari hadist nabi yang mengandung  arti menyuruh untuk menyegerakan berbuka. Dalam kamus besar bahasa indonesia pun, takjil diartikan sebagai kalimat mempercepat (dalam berbuka puasa).  Dua hal yang sangat berbeda dapat diartikan dalam satu kata yang sama, kalau dalam bahasa indonesia disebut polisemi (kata yang mengandung makna ganda). Apakah takjil termasuk polisemi? atau hanya ke-polisemi-an yang dibuat-buat?

Layaknya sebuah kebenaran. Ia akan manjadi samar bila sudah dirasuki dengan keburukan yang tersembunyi, hingga akhirnya apa yang benar pun hilang dari peredaran dan menyatakan bahwa yang salah adalah benar dan yang benar adalah salah. Hal ini bisa jadi sering kita melakukannya, dengan alasan semua orang menyetujui, apa yang jelas salah menjadi hal yang biasa dan lamban laun menjadi kebenaran yang disepakati.

Kebenaran bukanlah hal yang disepakati banyak orang. Tapi, kebenaran adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan. Sebab Tuhan yang menciptakan kita, maka sumber kebenaran hanyalah dari-Nya, bukan dari poliing terbanyak, bukan dari kebiasaan suatu kaum atau bukan dari penguasa yang sedang bertugas. Oleh karena itu, apapun posisi kita hari ini, baik yang hanya rakyat biasa atau penguasa maka dasar kebenaran yang harus diikuti adalah dasarnya dari Allah swt. Sistem dunia boleh saja dibuat oleh manusia tetapi isi dan pandangannya tidaklah mengubah perintah-Nya. Karena dunia hanya sementara maka ikuti saja aturan mainnya. Menjauhi larangan-Nya dan menjalankan perintah-Nya.

Sesuatu yang salah akan menjadi anggapan yang dibenarkan jika terus-terusan dilakukan dan menjadi sebuah kebiasaan, sebab sesuatu yang biasa dilakukan lebih mudah diterima oleh akal sehat sedangkan yang diluar kebiasaan akan terasa asing meski pada dasarnya yang asing tersebutlah sebuah kebenaran.

Antara takjil dan sebuah kebenaran adalah contoh kecil dari hilangnya kebenaran dari peredaran masyarakat hanya karena dibiasakan. Jika hal kecil ini memberikan dampak yang begitu besar maka sesuatu yang besar dan mengandung nilai kebenaran tapi direnggut oleh kebiasaan, tentunya akan memberikan dampak yang jauh lebih besar. Celakanya, kita seringkali terpengaruh dengan sesuatu yang belum tentu kebenarannya. Misalnya saja kita membagikan postingan yang kita anggap baik dan patut disebarkan, padahal dalam postingan tersebut mengandung arti atau hal batil yang belum tentu kebenarannya atau bahasa zaman now adalah Hoax.

Oleh karena itu, teliti sebelum membagikan postingan, bacalah semua sampai habis, jangan mengambil kesimpulan dari beberapa paragraf saja dan carilah dulu kebenarannya. Jika sudah yakin maka membagikan adalah hal yang harusnya dilakukan. Dua hal yang mesti kita ingat bahwa menyebarkan kebaikan akan mengantarkan pahala jariyah sebaliknya meluaskan keburukan akan mengantarkan dosa jariyah. Jadi pilih yang mana?

#Day3
#RWCODOP2018
#Takjil
#3Ramadan

You Might Also Like

0 komentar

Terima kasih telah meninggalkan komentar