Dua Jiwa Kebaikan

Hari ini aku terpaksa berjalan kaki menuju tempat kerja karena mobilku sedang masuk bengkel. Mungkin ia telah lelah menenami aktivitasku sehari-hari. Aku pergi pagi dan pulang saat sore hilang di peraduannya. Biarlah, kubiarkan ia mengistirahatkan diri. Agar saat ia telah selesai, kami kembali bersama menikmati hari-hari penuh senyuman.



Sudah lima tahun aku jalani hidup sendiri di rumah peninggalan orangtua. Mereka meninggalkan dunia karena kecelakaan motor ketika ingin menghadiri rapat di luar kota. Begitulah kedua orangtuaku, kesibukan mereka yang padat membuat aku tak sekalipun merasakan nasehat cinta dari mereka. Hingga diakhir hidup mereka, hanya harta dan rumah mewah yang mereka warisi. Rumah peninggalan mereka inilah yang menjadi tempatku berteduh dari kerasnya hidup di jalanan. Alhamdulillah, sebelum peristiwa tragis itu. Aku telah membuat usaha sendiri. Jadi, aku tak khawatir hidup kelaparan meski hanya sendiri.

Hari ini adalah pengalaman pertama dalam hidupku, berjalan sendiri dari gerbang rumah untuk sampai ke kantor. Karena jarang ada taksi yang masuk ke wilayah sekitar rumah. Biasanya taksi atau angkutan umum ngetem diperempatan. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai diperempatan. Itupun belum tentu ada angkutan yang menunggu.

Keringat mengucur membasahi seragam kantorku yang rapi. Udara AC yg sering kurasakan berubah panas, tetapi sesekali angin sejuk menghilangkan sedikit kekesalan hati. Aku harus berdesak-desakan dengan orang-orang untuk rebutan tempat duduk di Bis. Keluhan, mulutku komat kamit mengumpati keadaan yang sedang kualami. Tentu saja dengan perasaan yang kacau. Wajah manisku tak tampak dari sisi manapun. Sesekali ada yang mencoba menyapa dan senyum padaku. Tapi aku berlalu tak memperdulikan.

Hari pertama tanpa mobil kesayangan membuat aku kehilangan semangat. Tapi tidak, hal itu hanya terjadi di hari pertama saja. Sore itu, saat aku pulang kerja dengan tumpukan deadline yang menggunung. Aku melihat seseorang yang berbeda. Seorang anak kecil berdiri di tepi jalan sedang komat kamit membaca mantranya "La Tahzan, la tahzan. Innallahu ma'ana". Terlihat jelas raut kegelisahan dari wajah cantiknya.

Melihatnya, mengingatkanku pada seseorang.

Teman kecil yang penuh dengan kebaikan. Selalu rapi dalam penampilan. Dengan jilbab warna pink yang selalu menutupi rambut panjangnya yang hitam. Meski dibalut kerudung, wajahnya bulat dengan hidung mancung dan gigi gingsulnya menambah aura kecantikannya, juga matanya tajam penuh misteri. Kulit putihnya pun ia tutup dengan baju gamis bermotif kartun atupun bunga-bunga. Sangat cantik dipakai oleh anak seusianya. Saat itu kami baru kelas lima SD.

Sangat jauh berbeda denganku, aku sangat bangga akan rambut bergelombang yang selalu terurai. Teman-temanku juga sering memuji rambutku yang cantik dan terawat. Mereka selalu saja mengatakan jika mereka iri akan rambut cantikku.

Kuhampiri ia penuh hati-hati. Ternyata ia tersesat, Ayah yang biasanya menjemput, mendadak ditugaskan ke luar kota. Ia pun memberanikan diri untuk pulang sendiri, tetapi di tengah jalan ia menyadari bahwa jalan yang ditempuhnya tidak dikenalinya sedikitpun.

Setelah mengobrol panjang lebar dan matahari juga mulai tenggelam dalam peraduannya. Aku menawarakan gadis kecil bergamis, berjilbab pink dan ransel yang bercorak kartun doraemon. Mungkin itu kartun kesukaannya, pikirku. Akhirnya ia setuju dan meminjam hp untuk mengabari ayahnya. Tetapi, sama sekali tak ada jawaban.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, kuperhatikan sosok kecil bersamaku ini, aku seperti dejavu. Gamis dan jilbab pink yang ia kenakan sudah familiar dalam ingatanku, entahlah. Aku juga belum yakin atas perkiraanku.
Kehadirannya malam itu mengubah warna dalam rumahku. Benar saja, apa yg tak pernah aku lakukan

Pikiranku masih saja mengingat memori 20 tahun yang lalu. Saat kami masih usia 10 tahun. Ia satu-satuya teman yang paling dekat denganku, sayangnya karena orangtuanya pindah tugas keluar kota. Kami tak pernah berhubungan lagi, meski hanya lewat telepon. Gantungan kunci yang kupajang di depan cermin itulah kenang-kenangaan terakhir yg ia beri. Gantungan kunci yg berlafadzkan Allah. Sedangkan aku memberinya kerudung polos berwarna pink kesukaannya.

Aku dan hafsah Melahap makanan dengan penuh nikmat. Aku merasa masakan malam itu sangat lezat dibandingkan hari-hari sebelumnya. Ditambah cerita-cerita hafsah tentang ibunya. Aku semakin kagum dengan ibu hafsah yg sangat berpengaruh dalam hidup hafsah.

Selesai kami menyantap makanan malam, terdengar azan berkumandang. Aku masih merebakan tubuh disofa sambil menonton televisi sedangkan hafsah masih di dapur. Ia memaksa untuk mencuci piring. Entahlah, anak ini sangat aneh dan sikapnya seperti orang dewasa.

"Tante, sholat yuk, azan isya sudah selesai" Ia mengajakku, tapi aku malas-malasan. "Kamu duluan aja, tante mau istirahat sebentar" inilah kebiasaanku yang selalu menunda sholat.
Si kecil hafsah mulai membujuk aku, hingga akhirnya aku leleh akan kata terakhirnya.
"Tante, setelah sholat, hafsah akan ceritakan banyak hal tentang ibu"
"Tentang ibumu? Jawabku penasaran.
"Iya tante, ibu yang membuat hafsah seperti ini.
"Oke, ayo kita sholat dulu" ajakku dengat semangat.

Sesuai janjinya. Hafsah menceritakan kisah tentang ibunya. Hanya saja ia mengeluarkan buku semacam diary dari tasnya. Ia buka buku tersebut lembar demi lembar. Kemudian ia membacakannya padaku. Aku mendengar secara seksama.
Hingga di lembar ke 99, aku sangat terkejut nama yang sangat familiar di telingaku,  Angel. Mungkinkah dia? Pikirku.

Hafsah terus melanjutkan ceritanya. Angel sebagai tokoh utama dalam cerita, ialah ibunya hafsah. Bermata bulat, wajah yang cantik dengan gigi gingsul, hidung mancung dan tatapan yang penuh misteri. Ia sangat suka memakai jilbab dan gamis warna pink, tak lupa jam tangan berbahan kukit selalu melingkar di jarinya. Waktu adalah hal yang sangat penting, oleh karena itu, jam inilah yang bisa mengingatkan akan waktu yang kadang berjalan tanpa disadari.

Mendengar gambaran yang diceritakan oleh hafsah, aku yakin ia adalah Angel masa kecilku. Dan aku sangat senang, karena sebentar lagi aku akan bertemu dengan sahabat terbaik yang sudah lama terpisah.

"Dimana Ibumu? Tanyaku spontan.
Hafsah terdiam, dan tidak menjawab. Tetapi air mata yang ia tumpahkan dari kedua mata bulatnya memberikan isyarat yang tidak baik.
Aku juga diam, menunggu jawabannya. Mungkin ia harus berfikir dulu dalam menjawab pertanyaan tersebut.
"Ibu sudah bahagia di surga, dan hafsah ingin bertemu dengan ibu. Jadi saat ini hafsah selalu membaca diarynya dan berusaha mengamalkannya" jelas hafsah dengan air mata yang masih berlinangan.

Lalu, hafsah menunjukkan foto ibunya. Benar saja apa yang aku pikirkan itulah adanya. Angel sahabatku adalah ibunya hafsah. Tetapi ia telah pergi jauh tanpa berpamitan dulu kepadaku.

Rindu yang sempat bersarang berubah menjadi linangan air mata. Dan aku sangat bersyukur dipertemukan dengan hafsah. Ia sudah seperti replika Angel yang sudah terbentuk. Meskipun beliau tidak lagi di dunia, tetapi nasehat dan kebaikannya selalu diingat oleh anak semata wayangnya.

Angel, kau bagai malaikat yang membuatku berfikir kehidupan ini hanyalah sementara. Berbuat baiklah sebanyak-banyaknya dan tinggalkan karya yang akan mengirimkan limpahan pahala untuk di akhirat.



@gudesmaa21
#TantanganODOP6

You Might Also Like

1 komentar

Terima kasih telah meninggalkan komentar