Aku Memanggilnya Dua Senja


Beratapkan genteng yang rapuh dan berlubang. Rintikan air hujan tak pernah permisi untuk masuk dan membuat genangan. Perabotan seadanya. Hanya satu kasur yang muat untuk dua orang. Cermin kecil untuk merapikan pakaian terletak di samping pintu dekat ruang tamu tanpa kursi ataupun meja. Sisi belakang digunakan untuk makan beralaskan tikar.Tak ada satu pun alat elektronik yang bisa ditemui. Dalam dunia kecil milik dua senja.

Dua  senja duduk di serambi rumah sambil bercengkrama. Ditemani singkong goreng dari hasil kebun di belakang rumah. Tak ada anak ataupun kerabat. Mereka hanya berdua, bersama sepi dan senja. Terlihat jelas kerinduan yang tersimpan dalam kerut wajah mereka.

Aku memanggilnya dua senja.  Mereka yang selalu bahagia bila berdua. Tak pernah peduli bisikan tetangga mencibir ataupun menghina. Karena mereka tahu, jalan mereka adalah jalan kebaikan.

Satu tubuh itulah dua senja. Saling beriringan saling berpegangan. Meski kerinduan tawa anak terus dalam pikiran. Cinta yang mereka beri terlupa oleh kekayaan.

Istana yang dulunya ramai penuh tangis dan tawa oleh anak kecil yang lucu dan manja. Tapi kini,  waktu telah merubahnya menjadi sepi tanpa diwarisi. Tinggallah mereka dua senja. Memupuk rasa seperti awal membangun cinta. Cinta awal, tengah, akhir dan selamanya. Pernah beda namun akhirnya kembali seperti semula.

Aku memanggilnya dua senja. Senyum merekah selalu tersemat dibalik kerutan. Kerutan kerinduan akan buah hati tercinta. Selalu menunggu anak, mantu dan cucu dengan sumringah, meski mereka sadar akan arti dari senja.

Aku memanggilnya dua senja. Inspirasi kisah untuk dua insan yang saling mencinta. Meski harta tak seluas samudera. Tapi hati yang selalu terjaga, dalam genggaman cinta sang Maha Cinta.

30 Oktober 2017
@gudesmaa21

You Might Also Like

0 komentar

Terima kasih telah meninggalkan komentar