Jaka Tarub dan Bidadari

  (Sumber gambar : https://indahfajriah.wordpress.com/2013/03/19/dongeng/)

Tersebutlah disuatu kampung yang indah nan elok dipandang mata. Rumah-rumah berjauhan satu sama lain diapit oleh pepohonan kecil dan menjulang. Bunga-bunga bermekaran disepanjang jalan setapak. Hiduplah seorang pemuda tanpa ayah dan ibu, tidak pun dengan seorang kekasih. Semenjak ibunya pergi ke alam peri. Hidupnya jadi luntang-lantung sendiri.

Jaka Tarub begitulah orang biasa menyapanya. Memiliki hobi berburu, menjelajahi hutan yg jarang sekali dijamah manusia. Selalu menjual hasil buruan untuk menyambung hidupnya sehari-hari.

Malam beranjak dan pergi berganti fajar. Hari itu, Jaka Tarub bersiap dengan perlengkapan buruannya. "Aku harus dapat buruan yang banyak kali ini" gumam Jaka dengan kepalan tangan bersemangat. Matahari masih belum menampakkan sinarnya,  Jaka Tarub telah keluar rumah menyusuri hutan yg akan ia jelajahi. Berbekal busur dan beberapa anak panah terikat kuat dipunggung kekarnya. Berjalan tanpa tunggangan, hanya melangkahkan kaki menurutkan perasaan hati.

Ditengah-tengah perjalanan, telinganya menangkap suara gadis bercengkarama satu sama lain,  juga gemiricik air yg memecah keheningan hutan belantara tersebut. Rasa penasaran membuat kaki-kakinya ringan mencari sumber suara. Dilangkahkan kakinya perlahan. Semakin melangkah, suara itu pun semakin jelas terdengar. Rasa penasaran menggebu-gebu,  hingga akhirnya kedua matanya menangkap kumpulan gadis yg sedang mandi di telaga. Dengan sigap ia menyembunyikan badannya disemak-semak. Dilihatnya pesona gadis tersebut satu persatu. "Sungguh sempurna ciptaan Tuhan" gumamnya dalam hati.  "Dari mana mereka berasal? Mungkinkah mereka Bidadari?" Jaka terus berbincang pada dirinya sendiri.


Melihat kecantikan gadis- gadis yg tak pernah ia lihat sebelumnya, Jaka berpikir dan memainkan mata kesana kemari untuk mencari sebuah petunjuk, lalu ia menemukan kumpulan selendang di atas batu yg terletak di pinggir tebing. Karena keinginannya untuk memiliki satu perempuan dari mereka,  diam-diam Jaka mencuri selendang tersebut dan memasukkan kedalam tas yg ia bawa.

Dilain sisi. Seorang dari Bidadari berbicara "Ayo kita pulang,  matahari sebentar lagi terbenam", mereka lalu mengambil selendangnya masing-masing. Tapi si bungsu Nawang Wulan berujar "kemana selendangku? Bagaimana aku bisa pulang,  jika selendangku hilang?" memangnya kamu letakkan dimana selendangmu,  Nawang Wulan?" tanya salah satu bidadari. "Aku letakkan disini (sambil menunjuk batu) tempat kalian meletakkannya" jawab Nawang Wulan dengan isaknya. Ia mulai khawatir tidak bisa pulang ke kahyangan bersama bidadari yg lain. Mereka terus mencari selendang,  tetapi hasilnya nihil. Akhirnya salah satu dari bidadari berujar "maafkan kami,  Nawang Wulan. Hari semakin senja,  kami terpaksa memenyaksikan enam bidadari lainnya naik ke langit bersama dan hilang dari pandangannya. Ia pun hanya mampu melambaikan tangan dan berserah atas apa yg terjadi pada dirinya dengan wajah yg penuh khawatir.

Tiba-tiba datanglah Jaka Tarub mendekatinya.  Jaka berpura-pura menolong Nawang dan mengajaknya kerumah karena hari semakin gelap. Tanpa pikir panjang Nawang menerima tawaran Jaka.

Singkat cerita. Jaka Tarub dan Nawang Wulan menikah. Masyarakat desa pun tak ada yang tahu asal usul Nawang Wulan, mereka tak curiga sedikit pun karena Jaka menjelaskan bahwa istrinya berasal dari kampung yang sangat jauh. Kehidupan mereka seperti pasangan lainnya. Setelah beberapa tahun kemudian mereka dikaruniai seorang Putri yg mereka beri nama Nawangsih. Kehidupan mereka berlanjut seperti biasa.

Namun, satu hal yang menjadi pertanyaan dari Jaka Tarub "Mengapa lumbung gabah ini tak pernah kering meski setiap hari dimasak oleh istriku? " pikirnya. Semakin hari lumbung gabahnya terisi penuh hingga hampir tak bisa diisi lagi.

Sampai suatu hari Nawang Wulan pergi ke sungai untuk mencuci dan menitipkan Nawangsih pada Jaka. Saat itu usia Nawangsih masih lima bulan. Ia juga berpesan agar jangan membuka kukusan tempatnya menanak nasi. Namun Jaka tak mengindahkan pesan Nawang,  karena rasa penasaran yg sangat tinggi ia lalu membuka penanak nasi tersebut. Betapa terkejutnya Jaka, tak diduga istrinya menanak nasi hanya dengan sebutir beras. Dan ia langsung teringat akan teka-teki yg selama ini mengusik pikirannya. "Inilah jawaban dari pertanyaanku" lirihnya pelan.

Dibalik pintu dapur,  Nawang berdiri dan meilhat apa yang dilakukan Jaka.  Ia marah kepada Jaka karena telah melanggar pesannya. Kekuatan Nawang Wulan hilang, akibatnya ia menanak nasi seperti manusia biasa.

Hari berganti hari, persediaan gabah dilumbung mereka menjadi cepat habis. Sampai suatu hari, Nawang menemukan selendang yg selama ini ia cari diantara tumpukan gabah didalam lumbung.  Sekali lagi, Nawang marah kepada Jaka karena telah membohongi dan mencuri selendangnya. Amarah Nawang Wulan tak bisa dikendalikan, seperti petir yg tak segan menyambar. Ia mengancam akan meninggalkan Jaka dan Nawangsih untuk kembali ke Kahyangan.  Jaka sangat menyesal atas perbuatannya dahulu,  ia meminta maaf dan memohon agar Nawang tetap bersamanya menjalani kehidupan bersama sampai tua. Tetapi Nawang tetap pada pendirian, amarah telah merasuk pikirannya hingga ia tak bisa memaafkan kesalahan Jaka.

Nawang Wulan meninggalkan Jaka dan Nawangsih yg masih bayi. Ia pergi ke telaga untuk kembali ke kahyangan. Namun sial, Nawang tak bisa kembali ke kahyangan.  Ia lupa bahwa kekuatannya telah hilang,  otomatis kekuatan dari selendang juga sirna. Nawang telat menyadari posisinya, bahwa ia bukanlah bidadari lagi melainkan perempuan biasa yang berwujud manusia.

Nawang Wulan menyesal dan ingin kembali pada Jaka Tarub,  namun ego mengalahkan langkahnya. Menurut Nawang,  alangkah baiknya kalau dia memberikan waktu pada hati dan pikirannya untuk merenungi apa yg telah terjadi. Sementara itu, ia terpaksa harus tinggal di pinggir telaga tersebut.

***
Jaka Tarub sangat sedih, seperti bongkahan batu yg pecah berkeping-keping, retak dan sulit kembali seperti semula. Sejak rahasia besarnya diketahui oleh Nawang Wulan dan kembali ke kahyangan. Semenjak saat itu Jaka berjanji untuk tidak mencuri ataupun melanggar janji.  Ia ingin berubah menjadi manusia yg lebih baik lagi demi anaknya Nawangsih. Ia pun berpikir untuk mencari ilmu di negeri seberang. "Melupakan istrinya dan memulai hidup baru" pikirnya.

Berangkatlah ia ke negeri seberang membawa Nawangsih yg masih bayi. Ia menemui seseorang yang berilmu untuk belajar sebagai bekal hidup masa depannya. Tak perlu banyak waktu,  Jaka dengan mudah menemukan rumah Pak Tua. Apalagi penduduk sekitar yg hampir semuanya kenal sama Pak Tua.

Pak Tua, begitulah sapaan orang padanya. Rambut yg memutih, kulit yg tak kencang lagi juga berjalan yg tak tegap lagi. Pak tua tinggal bersama anaknya yg masih gadis. Istrinya meninggal sesaat setelah melahirkan putri yg sudah lama mereka nantikan. Butuh 28 tahun untuk Pak Tua dan istri menunggu kelahiran gadis tersebut. Andari, Pak tua memberikan nama yang mirip seperti Bidadari, karena ia berharap putri semata wayangnya mampu meneladani sifat-sifat Bidadari terutama Bidadari bumi. Awalnya Pak tua ingin menamai Bidadari, tetapi urung ia lakukan karena melihat fisik dari Andari jauh dari gambaran Bidadari. Hidung pesek,  kulit hitam juga rambut yg ikal. Pak tua takut ketika Andari besar,  ia akan jadi bahan ejekan teman-temannya.

Sampai berumur 30an pun,  Andari belum menemukan pasangan hidup. Padahal sudah beberapa lelaki yg dijodohkan oleh Pak tua padanya.  Namun mereka semua menolak Andari dengan alasan fisik Andari yg tak sedap dipandang. Meski buruk rupa Andari memiliki hati yang bersih.  Sikap dan perilaku yang lemah lembut, rajin dalam mengurus rumah, cerdas dalam pengetahuan. Tak sedikitpun cela yg terlihat dari kebaikan hatinya. Meski begitu ia harus menelan pil pahit berkali-kali saat lelaki melihat wajahnya.

Beberapa bulan kemudian,  Jaka Tarub masih menuntut ilmu dengan Pak Tua dan ia seringkali mendengar cerita Andari dari Pak Tua. Perjalanan cintanya pun dimulai kembali, karena terpesona dengan ketulusan, kesabaran, kesetiaan dan kepatuhan Andari.  Jaka Tarub langsung menyetujui usul Pak Tua untuk menjodohkannya dengan Andari. Begitu pun dengan Andari,  ia diam-diam menyimpan rasa pada Jaka Tarub. Mereka pun menikah. Jaka Tarub sangat bahagia dengan pernikahan yg baru itu. Pernikahan tanpa didasari bumbu kebohongan juga tak perduli bentuk rupa. Jaka Tarub baru menyadari bahwa cantik rupa bakalan pudar seiring waktu,  tapi cantik hati akan selamanya tertanam dalam diri bila seseorang selalu memupuknya.

***
Dari kejauhan, diam-diam sosok perempuan kumal memperhatikan Jaka Tarub, Nawangsih, dan Andari yang terlihat bahagia menikmati hari libur di halaman depan rumah. Buliran air menetes dari kedua mata sosok tersebut, nasi telah menjadi bubur, keputusan yg diambil dalam keadaan marah telah membuat hidupnya tak seperti Bidadari lagi. Hanya penyesalanlah yg ada dalam dekapannya sekarang.

The end


Tak ada maksud untuk mengubah ending cerita. Tulisan ini ditulis sebagai jawaban dari tantangan ODOP 4 Pekan ketiga. Semoga dapat diambil hikmahnya.

141017
@gudesmaa21





You Might Also Like

3 komentar

Terima kasih telah meninggalkan komentar