Indahnya Memaafkan



Aku menatap kaca lekat-lekat. Mencoba menganalisa setiap opini yg ditujukan pada perubahan bentuk fisikku. Kepala yg dibungkus jutaan helai rambut berwarna hitam menjuntai panjang melewati sepuluh senti dari bahu kanan dan kiri, wajah yg terlihat lebih menonjol dengan dua lingkaran yg mengembung disebelah kiri kanan hidungku. Leher yg mengecil tertutupi oleh dagu yg mulai membesar, kedua lengan tak mau kalah dan hampir mengejar posisi kakiku yg tak jangkung lagi.

Celaka, aku melihat orang asing yg sedang menatap dan menirukan setiap gerak gerikku di balik kaca itu. "Siapa dia?" ucapku tak percaya dengan apa yg dilihat. Aku mencoba mengontrol emosi, kembali kuihat dengan seksama sosok itu. Aku diam diapun membatu, aku berdiri diapun begitu,  aku berlari dia juga mengikutiku. Untuk ketiga kalinya aku menatap sosok misterius itu. Tiba-tiba...  Bukk, awww, sakit. Badanku jatuh dari tempat tidur, aku terbebas dari sosok misterius yg sangat mirip denganku hanya saja posturnya lebih besar. "syukurlah, ternyata hanya mimpi" ucapku pelan.

Aku segera membuka jendela kamar, menghirup segarnya udara pagi dan menikmati hangatnya sinar matahari.  Angin segar perlahan masuk melalui jendela kamarku. Sejuk dan tentramnya aroma pagi yg mampu menembus setiap pori-pori disekujur tubuhku. Menikmati suasana pagi dipinggir jendela kamar adalah rutinitas yg selalu aku jalani setelah beranjak dari tempat tidur,  aku selalu memberikan waktu untuk itu karena aku sangat senang melihat mekarnya bunga juga embun yg selalu muncul di daun-daun yg bergelantungan disebuah batang yg tak terlalu tinggi.

Dengan mencium aroma pagi yang begitu tenang dan damai aku seolah tak memiliki masalah dalam hidup,  mungkin inilah alasanku sangat menyukainya. Apalagi saat liburan seperti ini. Aku seperti Ratu dalam istana terindah diatas awan.

Bunda mengetuk pintu dan membangunkanku yg sedari tadi sudah berdiri dibalik jendela. Bunda mengajak datang ke arisan keluarga. Hal ini yg paling aku hindari karena aku pasti bertemu dengan Mega yg selalu mengkritisi setiap penampilanku dan selalu membanggakan dan memamerkan kecantikan dan keelokan tubuhnya. Harus kuakui tubuhnya tinggi, ramping,  putih, rambutnya lurus hitam dan penampilan yg fashionable.

Arisan keluarga inilah yg menciptakan keharmonisan antara keluarga bunda.  Setiap bulan selalu saja ada agenda kumpul keluarga seperti ini.  Biasanya aku paling malas ikut,  tapi karena sekolah sedang libur dan tidak ada kegiatan apapun. Alhasil aku harus terpaksa menjalani hari itu. Sebelum berangkat aku berdoa "Ya Allah,  semoga Mega berhalangan hadir" lirihku.

Aku dan Bunda sudah berada di depan rumah Tante Indah,  rumah yg begitu asri dengan tumbuhan dan dedaunan yg membuat mata tak ingin berpaling.

"Hey, Cika" seseorang menepuk pundakku dari belakang.
"hey juga"  aku mencoba berbalik dan melempar senyum padanya, tapi raut mukaku berubah setelah ku tahu kalau dia adalah Mega. Orang yg tak ingin aku lihat hari ini. Doa ku tidak terkabul,  aku pasrah jika hari ini lidah Mega menguliti penampilan ku yg sangat biasa ini.

"Cik,  aku mau tunjukkan kamu sesuatu"
"Apa?  Aku berusaha biasa, mengikuti percakapan dengannya.
"Ayo ikut aku dulu,  aku akan mengenalkanmu dengan seseorang" dia mengajakku ke taman belakang rumah Tante Indah.
"Seseorang,  siapa? " aku memikirkan, "jangan-jangan ia membawa teman-temannya untuk mengejekku seperti yg pernah ia lakukan saat aku masih SMP dulu. Tenang,  biasa, tarik nafas,  buang". Mulutku komat kamit tanpa menimbulkan suara sedikitpun,  kecurigaanku semakin jadi pada Mega.  Tapi aku tetap mengikutinya karena aku penasaran siapa yg akan dikenalkan Mega padaku. Dalam perjalanan ke taman belakang,  kakiku tersangkut ranting yg berserakan disepanjang jalan. Aku tak menghiraukannya, terus melangkah mengikuti jejak -jejak Mega. Hingga sampai ke tempat yg dituju, aku tidak menyadari kaki kananku terluka,  sedikit berdarah, hanya luka sayatan kecil yg esok hari akan sembuh dengan sendirinya.

Aku terperangah, tak percaya,  terdiam sesaat. Melihat sekeliling taman yg begitu asri. Lebih indah dari taman depan rumah Tante Indah.

"kamu suka gak,  Cik" tanya Mega penasaran.
"Iyyaa,  aku sangat suka.  Kenapa bisa secantik ini?  Bukankah dulu, taman belakang ini hanya pohon-pohon besar yg tak terurus".

"Iya Cik, ini ide kami semua" (beberapa teman Mega yg dulu mengejekku,  keluar satu persatu dari balik pepohonan). Yang tak aku kenal satupun nama mereka. Tapi wajah mereka selalu mengingatkanku tentang perlakuan mereka saat perayaan ulang tahun Mega dua tahun yang lalu.

"Untuk apa ini? Ucapku dalam hati (aku masih berpikir,  hal apa yg sedang direncanakan Mega dan teman-temannya). Melihat mereka semua mulai mendekatiku,  aku berlari sekencang-kencangnya dan mengajak Bunda untuk pulang,  karena aku tak mau kejadian memalukan terjadi untuk kedua kalinya.

"Bunda,  Bunda..." sambil berlari aku mencoba mengeluarkan suara memanggil Bunda.

"Bunda, pulang yuk".
"Nanti dulu Cik,  kita kan baru datang".
"Tapi,  Cika mau pulang sekarang".
"Kenapa Cik,  coba kamu duduk,  diam,  merenung,  dan jelaskan apa yg terjadi" Tanya Tante Indah.
"Tidak perlu Tante,  aku sudah tahu semuanya.  Mega dan kawan-kawannya pasti mau mengejekku lagi, apalagi penampilanku tetap sama seperti dulu.
"Maksud kamu apa?  tidak ada yg akan mengejekmu lagi.
"Tante bohong,  jangan mencoba membelanya" jawabku singkat.
"Tidak Cik,  kamu salah paham.  Mereka semua kesini untuk meminta maaf atas kejadian dua tahun lalu". Bukankah mereka sudah mengajakmu ke taman belakang? ".
"Iya Tante,  tapi aku takut berada sendirian ditengah mereka,  meski taman-taman asri itu memanjakan kedua mataku".

"Cika,  seseorang memanggilku dari balik pintu".
Ternyata Mega dan teman-temannya mengejarku sampai ke pintu rumah Tante Indah.
"Cukup Mega,  aku sudah senang dengan kehidupanku sekarang,  meski badanku tak selangsing dirimu,  warna kulitku yg tetap coklat dari dulu juga penampilan yg jadul ini".
"Tidak Cik,  bukan itu maksudku " jawab Mega singkat.
"Terus, kenapa kau mengajak mereka yg pernah menginjak-injak harga diriku didepan keramaian, mereka yg tak pernah aku kenal sebelumnya dan selamanya aku tak ingin melihat mereka bahkan untuk mengetahui nama merekapun aku tidak sudi".

Mulutku mencurahkan semua isi hati yg selama ini terpendam sejak dua tahun terakhir setelah kejadian memalukan itu. Meski mungkin Mega telah mengetahui jika rasa sakit hati itu telah tertanam sejak tragedi dirumahnya yang membuat aku selalu menghindar untuk bertemu dengannya.

Hening.

Aku tak percaya,  kata-kata itu keluar dari mulutku. Astahgfirullah,  aku mencoba beristighfar agar amarahku tidak memuncak karena sakit hati yg telah lama kupendam.

"Cika,  tolong beri kami kesempatan" ucap seseorang yg memakai baju biru diantara mereka.
"Iya Cika",  berilah kami waktu menjelaskan semuanya, Mega menimpali.

Bunda mendekati,  mengelus kepalaku,  berusaha menenangkan.
"Cika,  setiap orang memiliki kesalahan,  dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah ia yg mau mengakui,  meminta maaf,  serta berjanji tidak mengulanginya. Cobalah mengerti keadaan mereka Cik".

"Tapi Bunda.... "

"Tidak Cik,  jadilah seorang yg pemaaf.  Karena memaafkan adalah menenangkan, menentramkan jiwa,  menimbulkan kasih sayang, dan mampu memupuk cinta yang sedang tumbuh. Bukankah selama ini kamu tersiksa akan sakit hati yg kau pendam sendiri,  hingga hari ini kau tak menghiraukan orang lain dan berucap sesukamu saja. Apakah kamu tidak berfikir,  tentang kalimat yg kau ucapkan tadi? Tanpa kau sadari,  kau telah berburuk sangka kepada orang lain. Apakah itu baik? " Jelas Bunda.

Aku tersentak dan tersindir akan kalimat terakhir Bunda,  "su'uzon? Apakah benar, aku telah berburuk sangka pada mereka?" batinku bertanya.

"OK,  tapi tidak hari ini.  Besok kalian datanglah kerumahku. Aku mau melihat kesungguhan kalian semua".
"Baiklah Cika, kami semua akan kerumahmu besok" jawab Mega dan diiringi ketiga teman-temannya.
"Tapi,  kamu harus ikut kami ke taman belakang dulu sebelum pulang" pinta perempuan disebelah Mega"
"Oke,  Siap" Aku menyetujuinya.

"Kami melangkah bersama-sama menuju ke taman belakang, kali ini aku tidak takut lagi berjalan dan berada didekat mereka. Aku mencoba menyingkirkan prasangka yg selama ini merasuki dan menggerogoti hatiku. Ternyata musuh terbesarku adalah diriku sendiri.

The end.

#TantanganPekan2
#ODOP4
#BelajarMemaafkan
@gudesmaa21

You Might Also Like

1 komentar

Terima kasih telah meninggalkan komentar